Thursday, May 30, 2024

IHSG Ambruk 1,2%, Ini Penyebabnya

 Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau kembali ambruk lebih dari 1% pada perdagangan sesi I Kamis (30/5/2024), di tengah memburuknya sentimen pasar global akibat kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).

Per pukul 09:30 WIB, IHSG ambruk 1,2% ke posisi 7.054,59. IHSG pun kembali menyentuh level psikologis 7.000 pada sesi I hari ini.

Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 2,5 triliun dengan melibatkan 3,8 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 227.418 kali.

Secara sektoral, sektor keuangan menjadi pemberat terbesar IHSG di sesi I hari ini, yakni mencapai 1,32%.

Selain itu, beberapa saham juga terpantau menjadi penekan (laggard) IHSG pada sesi I hari ini. Berikut daftarnya.

Saham pertambangan mineral Grup Salim yakni PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) menjadi penekan terbesar IHSG pada sesi I hari ini, yakni mencapai 24,3 indeks poin.

Tak hanya itu saja, saham bank raksasa juga kembali menjadi penekan IHSG, dengan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menjadi yang paling besar yakni mencapai 13,7 indeks poin.

IHSG kembali ambles karena terbebani oleh naiknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury). Pada penutupan perdagangan kemarin, yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik menjadi 4,616%, menjadi yang tertinggi sejak awal Mei 2024.

Yield Treasury kembali naik setelah lelang obligasi 5 tahun oleh Departemen Keuangan AS senilai US$ 70 miliar menunjukkan permintaan yang rendah. Rasio bid-to-cover, yang merupakan ukuran permintaan yang diawasi dengan ketat, berada pada angka 2,3, di bawah rata-rata 10 lelang sebesar 2,45.

Kenaikan yield Treasury juga terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam, setelah beberapa data ekonomi yang dirilis baru-baru ini menunjukkan bahwa perekonomian Negeri Paman Sam semakin kuat.

Tidak sampai disitu, konsumsi masyarakat AS juga diperkirakan masih cukup kuat.

Mengutip hasil Conference Board, indeks kepercayaan konsumen AS naik pada Mei menjadi 102 dari 97,5 pada bulan sebelumnya dan di atas ekspektasi pasar yakni 95,9.

Dengan data ekonomi Negeri Paman Sam yang kembali positif, hal ini dapat membawa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat bersikap hawkish untuk jangka waktu yang lebih lama.

Apalagi, para pejabat The Fed juga belum mengindikasikan adanya keinginan untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat.

Alhasil, perkiraan pasar akan pemangkasan suku bunga akan dilakukan pada September cenderung kembali menurun. Melansir perhitungan CME FedWatch Tool, pasar memperkirakan 43,3% penurunan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin (bp) pada September.

CNBC INDONESIA RESEARCH

No comments:

Post a Comment