Foto: Lo Kheng Hong (CNBC Indonesia/Houtmand P. Saragih)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investor kawakan Lo Kheng Hong sempat mengaku sudah lebih dari 20 tahun terakhir tidak membeli saham dari pasar perdana atau pada saat perusahaan mencatatkan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Hal ini sudah disampaikan pria yang disebut-sebut sebagai Warren Buffett-nya Indonesia itu sejak 2021 lalu. Bahkan, ia pun tidak tertarik untuk membeli saham dari perusahaan teknologi semacam GoTo, Traveloka, Bukalapak, dan sebagainya.
"Yang pertama saya sudah tidak membeli saham-saham IPO dalam 20 tahun lebih, karena tidak mungkin pemilik perusahaan dan penjamin emisi (underwriter) mau menjual saham di harga undervalue (di bawah pasar), harga murah, pasti mereka mau menjual harga IPO semahal-mahalnya, jadi 20 tahun lebih saya menghindari membeli saham IPO," kata Lo Kheng Hong dalam video yang diunggah dalam akun Instagram @lukas_setiaatmaja, dikutip Kamis (20/5/2021).
"Karena menurut saya tidak ada yang salah harga, mana mau si pebisnis mau menjual Mercy nya di harga Avanza, kalau Avanza harga Mercy. Jadi saya sudah 20 tahun gak beli," kata pemilik saham PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) ini.
Pemilik saham Gajah Tunggal Tbk (GJTL) dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN) ini juga menambahkan dirinya gaptek atau kurang melek teknologi.
"Saya ga mengerti teknologi, untuk zoom meeting saja kalau ga dibantu anak saya mungkin tidak akan terjadi zoom ini. Sampai saat ini saya ngetik di komputer aja ga bisa, mungkin saudara kaget Lo Kheng Hong ngetik di komputer ga bisa karena waktu saya kuliah dulu belum ada komputer, sudah gitu saya gak mau belajar karena ga ada kebutuhan [saat itu],' katanya.
Di sisi lain, yang terpenting, dia memaparkan bahwa dirinya adalah seorang investor yang konservatif dan masih melihat kinerja fundamental perusahaan sebagai landasan berinvestasi.
Alasan belum tertarik IPO GoTo dan lainnya karena valuasi perusahaan teknologi dinilai sangat tinggi, tidak sejalan dengan kinerja perusahaan yang masih merugi. Valuasi itu tergambar dari price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER).
PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah.
Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali. Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.
"Mana mungkin saya beli perusahaan teknologi yang valuasinya bisa 10 kali nilai buku, perusahaan masih rugi, untungnya masih negatif. Seperti Bank Jago [saham ARTO], perusahaan digital, mungkin PBV (price to book value) 90 kali. Saya ga ngikutin, masih rugi, aset juga masih Rp 1 triliun lebih ya ga mungkin saya membeli," kata dia.
"Saya seorang investor yang konservatif, saya ga mau liat kinerjanya yang berlebihan di masa yang akan datang, jadi saya mau lihat labanya dulu, tunjukin ke saya. Kalau sudah labanya besar harganya murah baru saya beli," terangnya.
Menurut dia, perusahaan dengan valuasi yang besar itu malah justru membuat periode untuk mencapai periode break even point (BEP) semakin lama.
Contohnya saja saham Tesla yang saat ini memiliki price to earning (PER) 1.000 kali, artinya baru akan mencapai BEP dalam 10 abad ke depan.
"Saham teknologi itu buat fund manager karena mereka kelola uang orang lain, bukan uang orang sendiri, kalau rugi pun gak apa-apa, mereka tetap untung," imbuh dia.
No comments:
Post a Comment