Foto: Pabrik Sritex (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil di Indonesia tengah didera kesulitan. Terbaru, terdapat 6 pabrik tekstil yang tutup selama 2024.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengungkapkan, penurunan order hingga sama sekali tak ada order membuat pabrik-pabrik tekstil tersebut tutup. Hingga menyebabkan puluhan ribu pekerja menjadi korban PHK.
"Pabrik tekstil tutup bertambah lagi. PT. S.Dupantex, lokasinya di jalan Pantura, Pekalongan, Jawa Tengah. Baru tanggal 6 Juni kemarin, akibatnya PHK 700-an orang pekerja," ungkap Ristadi kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (11/6/2024).
"Ini menambah daftar pabrik tekstil yang melakukan PHK sejak awal tahun 2024. Ada yang efisiensi ada yang pabriknya tutup karena tak bisa lagi bertahan," tambahnya
Terlepas dari itu, terdapat orang-orang yang sempat mendapat keuntungan besar dari penjualan produk tekstil ini. Bahkan, masa jayanya berhasil membawa mereka menjadi konglomerat berharta triliunan.
Berikut merupakan daftar konglomerat tekstil di Indonesia:
1. Sri Prakash Lohia
Konglomerat Indonesia asal India Sri Prakash Lohia mencatatkan kekayaan sebesar US$8,1 miliar atau sekitar Rp131,9 triliun. Ia mendapat kekayaan ini sebagian besar dari bisnis manufakturnya.
Pada tahun 1976, orang terkaya keempat se-Indonesia ini mendirikan PT Indorama Synthetics Tbk (INDR) bersama sang Ayah yang menyediakan benang pintal. Dalam meniti karirnya, saat itu Ia masih menjadi seorang remaja yang berusia 21 tahun.
Hingga saat ini PT Indorama Synthetics Tbk (INDR) menjadi perusahaan multinasional yang memproduksi tekstil ternama di Indonesia. Karena performa perusahaan yang juga baik, Sri Prakash betah menduduki 10 besar daftar orang terkaya Indonesia
2. H.M Lukminto
Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto) alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.
Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.
Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.
Sayangnya, saat ini Sritex mencatatkan kenaikan utang dan defisit modal yang kian membengkak.
Hingga akhir Desember 2023, aset perusahaan tercatat turun 15% menjadi US$ 648,99 juta atau setara Rp 10,38 triliun (asumsi kurs Rp 16.000/US$). Sementara itu, utang perusahaan tercatat malah mengalami kenaikan 3,75% menjadi US$ 1,60 miliar atau setara Rp 25,66 triliun.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, manajemen Sritex menyebut perusahaan akan meningkatkan penjualan dan efisiensi biaya produksi salah satunya lewat pengurangan jumlah karyawan.
Sepanjang tahun lalu perusahaan telah memangkas 2.232 karyawan dari semula 16.370 karyawan di akhir 2022 hingga tersisa 14.138 karyawan akhir tahun lalu.
3. Ludijanto Setijo
Ludijanto Setijo adalah Direktur Utama PT Pan Brothers, perusahaan garmen raksasa di Indonesia yang telah memproduksi merek-merek terkenal dunia seperti Calvin Klein, DKNY, J Crew, Old Navy, Gap dan masih banyak lagi. Ia berhasil membawa produk Pan Borthers diekspor ke mancanegara.
Melansir dari situs resminya, PT Trisetijo Manunggal Utama (TMU) merupakan pemegang saham pengendali perseroan dengan kepemilikan 31,25% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan.
Namun sama seperti Sritex, Emiten tekstil PT Pan Brothers Tbk (PBRX) tengah mencatatkan rugi bersih yang cukup besar di sepanjang 2023, dari sebelumnya pada 2022 yang mencetak laba bersih.
Rugi bersih PBRX sepanjang 2023 mencapai US$ 1,21 juta atau sekitar Rp 18,63 miliar, setelah sebelumnya berbalik posisi laba dari periode yang sama tahun 2022 sebesar US$ 3,68 juta atau sekitar Rp 56,65 miliar.
Bahkan, lembaga pemeringkat internasional, Fitch Rating menurunkan peringkat surat utang Pan Brothers, dari 'C' menjadi 'RD' ( Default Rating) sejak tanggal 8 Maret 2024.
No comments:
Post a Comment