Tuesday, August 6, 2024

Black Monday Guncang Pasar Modal Dunia, Petaka 1987 Terulang?

 

Orang-orang mengendarai sepeda di depan papan saham elektronik yang menunjukkan indeks Nikkei Jepang di sebuah perusahaan sekuritas pada hari Selasa, 9 Juli 2024, di Tokyo. Saham-saham Asia sebagian besar menguat pada hari Selasa setelah indeks acuan Wall Street mencapai lebih banyak tonggak sejarah. (AP/Eugene Hoshiko)
Foto: Orang-orang mengendarai sepeda di depan papan saham elektronik yang menunjukkan indeks Nikkei Jepang di sebuah perusahaan sekuritas pada hari Selasa, 9 Juli 2024, di Tokyo. Saham-saham Asia sebagian besar menguat pada hari Selasa setelah indeks acuan Wall Street mencapai lebih banyak tonggak sejarah. (AP/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal dunia kemarin menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Pasar saham Jepang mengalami penurunan terbesar dalam 37 tahun terakhir, sementara indeks VIX yang mengukur volatilitas saham AS mengalami kenaikan terbesar kedua sejak 1990.

Penurunan ini dipicu oleh data pekerjaan yang dirilis pada Jumat, (2/8/2024), yang mengubah narasi ekonomi dari soft landing menjadi hard landing. Ditambah lagi dengan periode penurunan hype tentang kecerdasan buatan dan kenaikan suku bunga Bank of Japan yang bertujuan memperkuat yen.


Berita bahwa Berkshire Hathaway milik Warren Buffett telah menjual setengah sahamnya di Apple dan menambah tumpukan uang tunai semakin memperburuk situasi.

Namun, melansir Wall Street Journal, pemicu tersebut tidak dapat sepenuhnya menjelaskan skala pergerakan yang terjadi. Penurunan besar yang dialami, seperti penurunan 15% pada saham pembuat chip Nvidia, terjadi karena investor telah bertaruh besar bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.

Pertanyaannya adalah sejauh mana volatilitas harga saam ini akan berlangsung? Jika berlanjut, apakah penurunan ini akan berbalik menjadi peningkatan tabungan dan melemahnya ekonomi, atau lebih buruk lagi, mengancam sistem keuangan?

Contoh ekstrem dari dampak penurunan besar di masa lalu adalah krisis 1987, kejatuhan Long-Term Capital Management pada 1998, dan krisis keuangan global 2008. Meskipun sejarah tidak pernah sempurna, sejauh ini situasi ini lebih mirip dengan versi yang lebih ringan dari krisis 1987 daripada dua lainnya.

Pada 1987, pasar saham mengalami penurunan terbesar dalam satu hari, dengan S&P 500 turun lebih dari 20% pada Black Monday di bulan Oktober. Investor saat itu telah membangun leverage berlebihan setelah kenaikan luar biasa hingga puncaknya pada bulan Agustus, dan kejatuhan tersebut menyebabkan margin call besar dan perdagangan otomatis yang dirancang buruk yang memperburuk penjualan.

Namun, Federal Reserve mengalirkan likuiditas ke bank-bank, broker tidak gagal bayar, dan pasar pulih sepenuhnya dalam dua tahun. Ekonomi baik-baik saja.

Kabar baiknya, pada 1987 semua instrumen di pasar modal naik, dan meski turun kembali, tidak ada yang terluka. S&P naik 36% dalam delapan bulan hingga puncaknya pada Agustus 1987, mirip dengan kenaikan 33% yang terjadi hingga puncaknya tahun ini.

Seperti pada 1987, kenaikan tahun ini terjadi meskipun ada kebijakan moneter ketat dan imbal hasil obligasi yang lebih tinggi. Sama seperti hari ini, pada 1987 investor berada di ujung tanduk dan siap untuk menjual untuk mengunci keuntungan tak terduga.

Kerugian sejauh ini lebih kecil, tetapi perdagangan yang menguntungkan telah berbalik, seperti halnya pasar secara keseluruhan pada 1987.

Pada 1998, situasinya jauh lebih buruk, meskipun saham pulih lebih cepat. Hedge fund yang sangat terleverage, LTCM, hancur ketika default utang domestik Rusia menciptakan pelarian ke keamanan. LTCM cukup besar sehingga mengancam akan menjatuhkan lembaga-lembaga Wall Street.

The Fed memangkas suku bunga tiga kali dan mengumpulkan sekelompok bank untuk menyelamatkan firma tersebut dan menutup perdagangan secara perlahan. Saham hanya membutuhkan waktu empat bulan untuk pulih, tetapi uang membantu meningkatkan gelembung internet, yang meledak dua tahun kemudian dan menyebabkan resesi ringan-dan kerugian besar bagi investor saham teknologi.

Kami belum tahu apakah ada hedge fund yang terkena dampak besar dari pergerakan pasar yang besar, yang telah membawa kerugian besar bagi mereka yang terlibat dalam "carry trade" meminjam murah dalam yen dan membeli mata uang dengan imbal hasil lebih tinggi seperti peso Meksiko atau dolar.

Namun, pedagang sudah bertaruh bahwa The Fed akan memangkas suku bunga, dengan pemotongan besar sebesar 0,5 persen poin sudah tercermin dalam futures untuk pertemuan bulan September.

Hasil yang sangat buruk adalah pengulangan tahun 2008, tetapi tampaknya tidak mungkin. Memang, beberapa bank besar AS gagal tahun lalu, karena taruhan buruk pada obligasi pemerintah.

Namun, bank jauh lebih sedikit menggunakan leverage dibandingkan sebelumnya, dan sistem ini kurang terpapar pada krisis likuiditas, karena pemberi pinjaman swasta telah mengambil alih sebagian besar risiko yang dulu ada di bank. Kerugian besar sangat mungkin terjadi, dan dana pribadi bisa mengalami masalah, tetapi itu akan memakan waktu dan tidak akan menciptakan krisis sistemik yang sama.

Idealnya, kelebihan di pasar saham akan mereda seperti pada tahun 1987 tanpa menciptakan masalah yang lebih luas. Antusiasme AI dapat mengempiskan harga saham lebih banyak-bahkan setelah turun 30% dari puncaknya bulan Juni, Nvidia masih dua kali lipat harganya tahun ini.

Namun, pasar sudah jauh lebih mendekati normal, dengan indeks Nasdaq 100 hanya naik 6% sejauh tahun ini, dan S&P kurang dari 9%.

Jika kepanikan mereda, The Fed memangkas suku bunga, dan tidak ada yang rusak dalam sistem keuangan. Namun, Wall Street Journal meminta agar investor bisa mengingat momen kejatuhannya kemarin dan mencoba untuk menjadi sedikit lebih bijaksana dan kurang spekulatif ke depan.

Monday, August 5, 2024

Ini Alasan Bitcoin Ambruk Ke US$ 53.000 & Ethereum Anjlok 20%

 

Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Art Rachen on Unsplash)
Foto: Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Art Rachen on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bitcoin saat ini jatuh ke level US$ 53.000 karena kepanikan pasar dan Etherum (ETH) kembali bergerak di zona negatif. Ketidakpastian pasar tercermin saat Nikkei Jepang turun lebih dari 6% pada hari Senin pagi, menjadikan penurunan indeks selama tiga hari menjadi sekitar 15%.

Mengutip data Coindesk, Bitcoin turun 12% dalam 24 jam terakhir dan 20% dalam sepekan. Penyebab terjadinya koreksi besar-besaran di pasar kripto dan pasar keuangan tradisional lainnya adalah arah kebijakan dari bank sentral global, termasuk The Fed yang masih urung menurunkan suku bunga dan Bank of Japan, yang minggu lalu malah menaikkan suku bunga acuannya.


Pengetatan moneter tersebut membuat yen melesat lebih tinggi dan indeks saham Nikkei jatuh turun 6% pada hari Senin pagi. Nikkei sekarang lebih rendah sekitar 15% selama tiga sesi terakhir dan 20% ambruk dari puncaknya pada pertengahan Juli.

Sama seperti di Jepang, aksi jual juga terjadi di AS, di mana Nasdaq turun lebih dari 5% dalam dua sesi terakhir minggu lalu. Nasdaq futures turun 2,5% pada perdagangan hari Minggu malam.

Selain sikap hawkish Bank of Japan yang tidak terduga minggu lalu, Federal Reserve AS juga mengejutkan beberapa pihak bukan dengan mempertahankan suku bunga stabil, tetapi dengan terlihat agak ambivalen tentang pemotongan suku bunga pada bulan September, yang diasumsikan oleh hampir semua pelaku pasar sebagai hal yang pasti.

Sementara itu data terbaru di AS, termasuk tenaga kerja dan aktivitas manufaktur yang memburuk menimbulkan kekhawatiran bahwa resesi di AS sudah di depan mata.

Para trader telah memperhitungkan peluang 100% untuk penurunan suku bunga acuan AS di bulan September, dengan peluang 71% untuk penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin dan hanya 29% untuk penurunan sebesar 25 basis poin.

Melihat lebih jauh pada kurva jatuh tempo, imbal hasil Treasury 10-tahun AS telah jatuh ke 3,75% pada Minggu malam dibandingkan 4,25% hanya satu minggu yang lalu dan 150-175 basis poin lebih rendah dari target dana federal saat ini sebesar 5,25%-5,50%.

Friday, August 2, 2024

Pengakuan Gubernur BI: Suku Bunga Acuan Harusnya Turun!

 

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat rakornas pengendalian inflasi tahun 2024 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/6/2024). (YouTube/Sekretariat Presiden)
Foto: Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat rakornas pengendalian inflasi tahun 2024 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/6/2024). (YouTube/Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia-Suku bunga acuan Indonesia atau BI rate seharusnya bisa turun sejak beberapa bulan lalu. Akan tetapi, pada April BI rate harus naik dan kemudian ditahan pada level 6,25% hingga sekarang.

Apa alasannya?

"Untuk BI rate kenapa April tadi dinaikkan, menjadi 6,25% itu kami tahan? karena mestinya BI rate itu turun," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Pusat LPS, Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Pertimbangan utama dari kebijakan suku bunga adalah inflasi. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK Juli 2024 tercatat deflasi sebesar 0,18% (mtm), sehingga secara tahunan inflasi IHK menurun menjadi 2,13% (yoy) dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,51% (yoy).

"Karena BI rate ditentukan bagaimana proyeksi inflasi, dan inflasi tahun ini rendah dan tahun depan juga rendah. Masih di target 2,5 plus minus 1%," paparnya.

Pertimbangan lain adalah kondisi pasar keuangan, khususnya pelemahan nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda yang jatuh ke level Rp16.000 membuat BI rate sulit turun.

Pelemahan rupiah terjadi karena situasi global, terutama Amerika Serikat (AS) dalam menentukan kebijakan suku bunga acuan atau Fed fund rate (FFR).

"Sehingga, kami harus pastikan risk global terkendali dulu," terang Perry.

Wednesday, July 31, 2024

Demi Family Office, RI Akan Impor Hakim dari UEA-Singapura

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyampikan pemaparan saat Keynote Speech dalam acara MINDialogue Mining Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (20/6/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyampikan pemaparan saat Keynote Speech dalam acara MINDialogue Mining Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (20/6/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, kunci sukses pembentukan Family Office terletak pada kepastian hukum.

Kepastian hukum itu khususnya dalam hal penyelesaian sengketa bisnis non litigasi seperti melalui arbitrase.

"Jadi kalau ada legal certainty ini mereka selesai masalah. Apa itu? Common law. Common law itu sebenarnya mereka pikir sederhana kok, arbitrasenya itu kalau sudah ditentukan, putus, kalah, menang, ya sudah jangan lagi appeal," kata Luhut dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Rabu (31/7/2024)


Untuk memastikan arbitrase tanpa banding, Luhut mengatakan, maka pemerintah harus memiliki hakim yang memiliki sertifikasi internasional.

Ia mengaku, sudah berbicara dengan Presiden Joko Widodo supaya hakim-hakim arbitrase nantinya berasal dari negara-negara yang sudah sukses membangun Family Office, seperti di Uni Emirat Arab dan Singapura.

"Saya bilang sama Bapak Presiden, sebenarnya kita ambil aja yang dipakai oleh mereka, atau yang dipakai Singapura, atau yang dipakai orang yang sudah punya reputasi. Jadi enggak bisa lagi orang, dan kemarin saya di Jogja, UGM, diskusi sama profesor siapa itu, dia bilang, betul Pak Luhut. Dibenarkan itu," ucapnya.

Luhut mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto sudah setuju dengan usulan pembentukan Family Office tersebut.

"Sangat menyambut baik. Sama Pak Prabowo, sama saja. Saya ngomong sama beliau lama mengenai ini. Jadi kita jangan kehilangan waktu. Nah sekarang timnya ini lagi memfinalkan ini semua. Kita berharap sebelum Oktober, ini semua sudah selesai. Dan Presiden juga mau. Itu sama dengan Pak Prabowo," tutur Luhut.


Luhut mengaku, dalam membangun Family Office ini dia juga telah pergi ke Abu Dhabi dan Dubai di Uni Emirat Arab (UEA) untuk meminta bimbingan sebagaimana saat membangun Sovereign Wealth Fund (SWF) yang kini telah terbentuk dengan nama Indonesia Investment Authority (INA).

"Karena yang membimbing kita dulu, membuat INA, Indonesian Sovereign Wealth Fund itu adalah mereka. Saya ingat itu 3 tahun yang lalu dengan Presiden Jokowi dan ketemu dengan MBZ (Presiden UEA Mohamed Bin Zayed) di Bogor," kata Luhut.

Tuesday, July 30, 2024

Rupiah Kembali Jatuh, BI Ungkap Biang Kerok Masalahnya!

 

Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali tertekan pada perdagangan hari ini, Selasa (30/7/2024). Rupiah bertengger di level Rp 16.315/US$ per pukul 10.19 WIB.

Mengutip data Refinitiv, rupiah bergerak di level itu sejak lima menit selepas pembukaan perdagangan pagi tadi. Kurs rupiah tersebut melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan kemarin di level Rp 16.275/US$.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia Edi Susianto mengatakan, pelemahan yang terjadi terhadap kurs rupiah itu seiring dengan kondisi yang dialami mata uang negara-negara Asia lainnya.

"Hari ini hampir semua mata uang Asia dibuka melemah, kecuali Thai Baht dan Taiwan dollar," ucap Edi kepada CNBC Indonesia hari ini.


Edi menjelaskan, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan tekanan terhadap kurs rupiah hari ini. Mayoritas berasal dari sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap faktor-faktor eksternal.

Faktor pertama terkait, sentimen wait and see pelaku pasar keuangan yang menunggu keputusan Dewan Gubernur Bank Sentral AS The Federal Reserve dalam Federal Open Market Committee (FOMC) pada 30-31 Juli waktu AS.

"Terutama menunggu statemen dari Jerome Powell (Ketua The Fed) pasca FOMC dengan fokus sejauh mana the Fed akan melakukan cut rate," tegas Edi.

Faktor kedua ialah sentimen pelaku pasar keuangan yang memperkirakan Bank of England atau BoE akan memangkas suku bunga kebijakannya atau cut rate, sementara Bank of Japan atau BoJ yang mereka perkirakan akan menaikan policy rate nya.

"Ketiga terkait Isu politik di AS, di mana pelaku pasar masih melihat potensi Trump akan menang cukup tinggi," ucap Edi.

Edi menjelaskan, sentimen-sentimen tersebut yang banyak mempengaruhi volatilitas pergerakan mata uang emerging market hari ini. Ia tak menyebutkan pengaruh tekanan terhadap nilai tukar rupiah hari ini ada yang berasal dari faktor domestik.

"ada prinsipnya kami akan selalu berada di pasar, namun kalau market masih supply valas ke pasar dengan baik maka kami dahulukan mekanisme pasar," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, Bank of Japan memulai pertemuan kebijakan moneter selama dua hari sampai besok, Rabu (31/7/2024). BOJ diharapkan untuk menaikkan suku bunga acuannya dan mengurangi pembelian obligasi pemerintah Jepang.

Para ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan BOJ akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 0,1%, naik dari kisaran saat ini 0% hingga 0,1%.

Pasar juga mencermati konferensi pers dari Federal Open Market Committee (FOMC). Konsensus pasar melihat pada bulan ini suku bunga AS akan tetap dipertahankan dan memandang pemangkasan suku bunga ke depan.

Ekonom tidak mengharapkan The Fed untuk membuat perubahan pada tingkat suku bunga federal selama pertemuan ini, tetapi para pedagang akan mencari petunjuk apakah bank sentral akan menurunkan suku bunga pada September.