Jakarta, CNBC Indonesia - Saham perbankan raksasa terpantau berjatuhan pada perdagangan sesi I Kamis (2/5/2024), berbalik arah dari penguatan yang terjadi pada Selasa lalu di tengah masih hawkish-nya bank sentral Amerika Serikat (AS).
Per pukul 10:17 WIB, dari lima saham bank raksasa, empat diantaranya sudah ambruk lebih dari 2%. Bahkan dua diantaranya ambruk berkisar 4% hingga 8% lebih. Sedangkan satu saham terkoreksi kurang dari 1%.
Adapun saham PT Bank Mandiri Tbk (BBCA) menjadi yang paling parah koreksinya pada sesi I hari ini, yakni ambruk 8,7% ke posisi Rp 6.300/unit. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi yang paling kecil koreksinya yakni melemah 0,51% menjadi Rp 9,750/unit.
Berikut pergerakan saham bank raksasa pada sesi I hari ini.
Emiten | Kode Saham | Harga Terakhir | Perubahan Harga |
Bank Mandiri (Persero) | BMRI | 6300 | -8,70% |
Bank Negara Indonesia (Persero) | BBNI | 4990 | -4,95% |
Bank Syariah Indonesia | BRIS | 2570 | -2,65% |
Bank Rakyat Indonesia (Persero) | BBRI | 4810 | -2,63% |
Bank Central Asia | BBCA | 9750 | -0,51% |
Sumber: RTI
Saham perbankan raksasa kembali merana setelah sempat bangkit pada perdagangan Selasa lalu atau sebelum libur dalam rangka Hari Buruh.
Padahal juga, beberapa bank raksasa juga masih mencatatkan kinerja yang positif di kuartal pertama 2024. Sebagai contoh BMRI, di mana laba bersihnya pada kuartal I-2024 tumbuh 1,13% menjadi Rp 12,7 triliun secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sedangkan BBRI membukukan laba bersih periode berjalan Rp15,98 triliun, tumbuh 2,69% secara tahunan (yoy) pada kuartal I-2024, dari setahun sebelumnya sebesar Rp15,56 triliun.
Disinyalir, amblesnya kembali saham perbankan raksasa pada hari ini terjadi karena investor cenderung merespons negatif dari keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang mengindikasikan belum akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Bahkan, mereka juga mengindikasikan bahwa pemangkasan suku bunga bisa saja tidak terjadi tahun ini. Namun, mereka juga telah menegaskan bahwa kenaikan suku bunga tidak akan kembali dilakukan pada tahun ini.
The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September, November, Desember 2023, Januari 2024, Maret 2024, dan Mei 2024.
"Inflasi sudah melandai dalam setahun terakhir tetapi tetap tinggi. Dalam beberapa bulan terakhir, hanya ada sedikit kemajuan dalam pergerakan inflasi menuju target sasaran 2%," tulis The Fed dalam pernyataan resminya.
Inflasi AS menanjak ke 3,5% (yoy)pada Maret 2024, dari 3,2% (yoy) pada Februari 2024. Inflasi AS juga diprediksi akan sulit turun drastis karena ekonomi mereka yang masih kencang dan ada pemilihan umum pada November mendatang.
'Komite tidak akan memangkas target (suku bunga) sampai kami lebih percaya diri melihat inflasi bergerak ke arah 2% secara berkelanjutan," tambah The Fed.
Di lain sisi, saham perbankan juga cenderung masih terbebani oleh sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI).
Sejatinya, ketika suku bunga naik, maka simpanan tabungan dan deposito juga akan meningkat karena imbal hasil yang lebih menarik. Hal ini menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat yang memilih investasi yang konservatif seperti instrumen deposito.
Meningkatnya simpanan tabungan dan deposito masyarakat dapat berdampak terhadap positif terhadap dana pihak ketiga (DPK) perbankan dan berdampak terhadap kenaikan terhadap Net Interest Margin (NIM) perbankan.
Namun, sektor perbankan juga dapat berdampak negatif terhadap kenaikan suku bunga. Ketika suku bunga naik maka bunga pinjaman akan terseret naik. Hal ini dapat berdampak pada daya pinjam masyarakat yang turun atau resiko turunnya pertumbuhan kredit perbankan ketika suku bunga naik.
Selain itu, ketika suku bunga naik biasanya harga barang-barang kebutuhan dan lainnya akan meningkat. Jika banyak debitur yang mengalami kesulitan bayar karena tingginya harga barang-barang kebutuhan, hal ini dapat berdampak pada kredit macet.
Jika jumlah kredit macet meningkat maka berarti Non Performing Loan (NPL) perbankan juga akan meningkat. Hal ini akan berdampak buruk terhadap cadangan modal bank dan mengganggu operasional perbankan.
CNBC Indonesia Research