Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah lebih dari 1% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu ke Rp 14.835/US$. Rupiah tertekan akibat isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) Pertalite.
Pemerintah diisukan akan mengumumkan kenaikan tersebut di pekan ini. Hal tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
"Minggu depan Presiden akan mengumumkan terkait apa dan bagaimana mengenai harga BBM ini. Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ungkap Menko Luhut dalam Kuliah Umum Menko Marves di Universitas Hasanudin dikutip Minggu (21/8/2022).
"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.
Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun tertekan.
Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).
Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Selain itu, Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan moneter Selasa besok juga akan mempengaruhi pergerakan rupiah.
Secara teknikal, pelemahan tajam rupiah pada pekan lalu membuatnya kembali ke atas Rp 14.730/US$, yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Namun, rupiah tertahan di sekitar resisten kuat Rp 14.885/US$ yang merupakan rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50), yang membuatnya mampu memangkas pelemahan.
Rp 14.730/US$ kini menjadi level kunci yang bisa menentukan arah pergerakan rupiah.
Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian sudah naik dari wilayah jenuh jual (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic bergerak naik tetapi masih di bawah level 50, sehingga tekanan bagi rupiah masih cukup besar.
Resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.885/US$, jika ditembus secara konsisten rupiah berisiko merosot di pekan ini. Target ke Rp 14.930/US$, sebelum kembali mendekati Rp 15.000/US$.
Sementara support berada di kisaran Rp 14.800/US$ ditembus, rupiah berpeluang menguat menuju Rp 14.730/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA