Monday, May 13, 2024

Asing Terciduk Getol Belanja Saham-Saham Ini Saat IHSG Merah

Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum libur panjang akhir pekan lalu atau long weekend, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merah membara. Di tengah periode perdagangan yang hanya aktif tiga hari tersebut, dana asing juga mengalir deras keluar dari pasar saham Indonesia. 

Indeks ditutup merosot 0,49% ke posisi 7.088,79 pada Rabu (8/5/2024). Sepanjang sepekan terakhir, IHSG telah merosot 2,01%.

Sementara itu, dalam sepekan terakhir, investor asing juga tercatat telah melakukan penjualan bersih jumbo, yakni sebesar Rp4,62 triliun di seluruh pasar. Lalu sebesar Rp4,19 triliun di pasar reguler, dan sebesar Rp426,12 miliar di pasar negosiasi dan tunai.

Tentunya, investor asing juga melakukan pembelian bersih terhadap sejumlah saham yang menadahi tekanan terhadap IHSG. Mengutip RTI Business, berikut saham yang banyak diborong asing dalam sepekan lalu:

1. PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) - Rp310,5 miliar

2. PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) - Rp229,1 miliar

3. PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) - Rp139,8 miliar

4. PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) - Rp131,2 miliar

5. PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) - Rp93,6 miliar

6. PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR) - Rp86,0 miliar

7. PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) - Rp77,9 miliar

8. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) - Rp76,0 miliar

9. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) - Rp70,3 miliar

10. PT Astra International Tbk. (ASII) - Rp68,4 miliar

 

Wednesday, May 8, 2024

Sebelum Long Weekend, Asing Diam-Diam Banyak Beli Saham Ini

 Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Usai menguat di awal pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi pada perdagangan Selasa (7/5/2024). Ini terjadi setelah indeks bergerak cenderung volatil.

Hingga akhir perdagangan, IHSG ditutup melemah 0,17% ke posisi 7.123,61. Meski gagal bertahan di zona hijau, indeks masih bertahan di level psikologis 7.100.

Tercatat turnover IHSG berada di angka Rp10,85 triliun, turun dibandingkan pada perdagangan sebelumnya sebesar Rp11,65 triliun. Transaksi berasal dari volume saham sebanyak 19,34 miliar lembar, di mana 254 saham naik, 290 turun dan 238 tidak berubah.

Pada perdangan kemarin, investor asing kembali melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp714,39 miliar di seluruh pasar. Rinciannya, sebesar Rp683,28 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp31,11 miliar di pasar negosiasi dan tunai.

Di samping itu, asing juga kompak memborong sejumlah saham yang menadahi tekanan terhadap pergerakan IHSG. Mengutip RTI Business, berikut saham yang paling banyak diborong asing pada perdagangan kemarin, Selasa (8//5/2024):

1. PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) - Rp65,6 miliar

2. PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) - Rp62,8 miliar

3. PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) - Rp39,7 miliar

4. PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) - Rp24,4 miliar

5. PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFIN) - Rp20,9 miliar

6. PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR) - Rp18,8 miliar

7. PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) - Rp17,6 miliar

8. PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) - Rp8,1 miliar

9. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) - Rp7,0 miliar

10. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) - Rp6,5 miliar

Tuesday, May 7, 2024

Laba Mayora (MYOR) Naik 52,93%, Tapi Bukan Karena Kopiko dan Beng Beng

 Doc.Mayora Indah Foto: Doc.Mayora Indah

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten produk konsumer PT Mayora Indah Tbk (MYOR) mencatatkan lonjakan laba bersih sebesar 52,93% pada tiga bulan pertama tahun 2024.

Merujuk pada laporan keuangan terbaru seperti dikutip dari keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), laba bersih perusahaan produsen Kopiko, hingga Wafer Beng Beng ini per Maret 2024 tercatat sebesar Rp 1,11 triliun. Sementara di tahun 2023, perseroan membukukan laba sebesar Rp 727,21 miliar.

Dari sisi top line, Perseroan membukukan penjualan sebesar Rp8,76 triliun atau naik 3,67% dari tahun lalu sebesar Rp 8,45 triliun. Sedangkan jumlah beban ikut terkerek 3,09% menjadi Rp 6,33 triliun.


Kendati penjualan dan beban bisnis utamanya tak berkontribusi banyak atas laba, MYOR mendapat keuntungan selisih kurs mata uang asing bersih mencapai Rp 74,63 miliar. Padahal, tahun lalu MYOR mencatat kerugian kurs Rp 184,15 miliar.

Di sisi lain, kenaikan laba juga disumbang dengan penghasilan bunga yang naik 124% menjadi Rp 44,11 miliar. MYOR juga mencatat kenaikan pada penghasilan lain sebesar Rp15,22 miliar.

Per Maret 2024, perusahaan mencatatkan aset sebesar Rp25,9 trilium. Aset ini naik dari sebelumnya sebesar Rp23,87 triliun.

Sementara posisi liabilitas MYOR sebesar Rp9,5 trilium. Adapun ekuitasnya tercatat sebesar minus Rp16,41 triliun di tahun 2024.

Monday, May 6, 2024

Asing Net Sell Rp5,73 T Pekan Lalu, 10 Saham Ini Paling Banyak Dilepas

 Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sepanjang pekan lalu "berdarah-darah", Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona hijau pada perdagangan Jumat (3/5/2024). Indeks ditutup menguat 0,24% ke posisi 7.134,72.

Sepanjang sepekan terakhir, IHSG telah terkoreksi 0,29%. Bahkan dalam sebulan terakhir, indeks tercatat merosot 3,14%.

Sementara itu, investor asing tercatat melakukan penjualan jumbo sepanjang pekan lalu, yakni sebesar Rp5,73 triliun di seluruh pasar. Rinciannya, sebesar Rp5,33 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp396,04 miliar di pasar negosiasi dan tunai.

Lantas, saham-saham apa saja yang secara bersamaan dibuang asing? Mengutip RTI Business, berikut net foreign sell perdagangan pekan lalu!

1. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) - Rp4,9 triliun

2. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) - Rp617,6 miliar

3. PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN) - Rp310,4 miliar

4. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) - Rp108,9 miliar

5. PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) - Rp84,1 miliar

6. PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) - Rp75,3 miliar

7. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) - Rp71,7 miliar

8. PT Ace Hardware Indonesia Tbk. (ACES) - Rp69,3 miliar

9. PT United Tractors Tbk. (UNTR) - Rp68,9 miliar

10. PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON) - Rp36,3 miliar

Friday, May 3, 2024

Mau Beli Rumah di Tengah Ekonomi Penuh Ketidakpastian, Cobain Cara Ini

 Ilustrasi rumah gaya retro Foto: Future / Damian Russell via Homes & Gardens

Jakarta, CNBC Indonesia - Program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema fix berjenjang sering dianggap sebagai solusi saat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) mengalami kenaikan. Namun, apakah hal tersebut benar?

Dengan KPR fix berjenjang, Anda mendapatkan kepastian terhadap setiap kenaikan suku bunga KPR. Anggap saja, Anda pengajuan KPR Anda telah disetujui oleh bank, maka berikut adalah besaran bunga KPR Anda:

  • Tahun 1-3: 7,4%

  • Tahun 4-6: 8%

  • Tahun 7-10: 10%

Apakah Anda tertarik dengan skema ini? Sebelum Anda memutuskan untuk membeli rumah melalui KPR berjenjang, penting untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari produk ini.

Cicilan terprediksi & begitu pula dengan beban keuangan Anda

Dengan metode ini, cicilan KPR Anda dalam jangka panjang bisa terprediksi dengan baik kenaikannya. Anda pun akan menjadi lebih tenang lantaran dalam jangka panjang, Anda bisa ikut memprediksi beban keuangan Anda.

Satu hal yang harus Anda lakukan adalah menjaga kestabilan pendapatan, dan menjaga jumlah dana darurat di batas ideal.

Ketika sewaktu-waktu terjadi musibah yang mana akan membuat pendapatan Anda hilang, dana darurat tersebut bisa digunakan untuk membayar cicilan.

Ketika masa fixed berakhir, tak menutup kemungkinan bunganya ikut naik

Baik KPR fixed berjenjang atau floating, bunga KPR bisa saja naik apabila terjadi penyesuaian terhadap Suku Bunga Acuan Bank Indonesia. Pada umumnya, bank menetapkan jangka waktu maksimal untuk periode fixed dalam KPR fixed berjenjang.

Anggap saja, untuk bisa mengajukan KPR ini tenor minimal yang ditawarkan adalah 12 tahun sedangkan periode fixednya adalah 10 tahun.

Jika ditanya mana yang lebih untung antara KPR fixed berjenjang atau floating, maka keduanya harus disesuaikan dengan kemampuan finansial orang yang bersangkutan.


Thursday, May 2, 2024

The Fed Batal Turunkan Suku Bunga, Saham Bank Raksasa RI Berjatuhan

 Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham perbankan raksasa terpantau berjatuhan pada perdagangan sesi I Kamis (2/5/2024), berbalik arah dari penguatan yang terjadi pada Selasa lalu di tengah masih hawkish-nya bank sentral Amerika Serikat (AS).

Per pukul 10:17 WIB, dari lima saham bank raksasa, empat diantaranya sudah ambruk lebih dari 2%. Bahkan dua diantaranya ambruk berkisar 4% hingga 8% lebih. Sedangkan satu saham terkoreksi kurang dari 1%.

Adapun saham PT Bank Mandiri Tbk (BBCA) menjadi yang paling parah koreksinya pada sesi I hari ini, yakni ambruk 8,7% ke posisi Rp 6.300/unit. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi yang paling kecil koreksinya yakni melemah 0,51% menjadi Rp 9,750/unit.

Berikut pergerakan saham bank raksasa pada sesi I hari ini.

EmitenKode SahamHarga TerakhirPerubahan Harga
Bank Mandiri (Persero)BMRI6300-8,70%
Bank Negara Indonesia (Persero)BBNI4990-4,95%
Bank Syariah IndonesiaBRIS2570-2,65%
Bank Rakyat Indonesia (Persero)BBRI4810-2,63%
Bank Central AsiaBBCA9750-0,51%

Sumber: RTI

Saham perbankan raksasa kembali merana setelah sempat bangkit pada perdagangan Selasa lalu atau sebelum libur dalam rangka Hari Buruh.

Padahal juga, beberapa bank raksasa juga masih mencatatkan kinerja yang positif di kuartal pertama 2024. Sebagai contoh BMRI, di mana laba bersihnya pada kuartal I-2024 tumbuh 1,13% menjadi Rp 12,7 triliun secara tahunan (year-on-year/yoy).

Sedangkan BBRI membukukan laba bersih periode berjalan Rp15,98 triliun, tumbuh 2,69% secara tahunan (yoy) pada kuartal I-2024, dari setahun sebelumnya sebesar Rp15,56 triliun.

Disinyalir, amblesnya kembali saham perbankan raksasa pada hari ini terjadi karena investor cenderung merespons negatif dari keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang mengindikasikan belum akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat.

Bahkan, mereka juga mengindikasikan bahwa pemangkasan suku bunga bisa saja tidak terjadi tahun ini. Namun, mereka juga telah menegaskan bahwa kenaikan suku bunga tidak akan kembali dilakukan pada tahun ini.

The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September, November, Desember 2023, Januari 2024, Maret 2024, dan Mei 2024.

"Inflasi sudah melandai dalam setahun terakhir tetapi tetap tinggi. Dalam beberapa bulan terakhir, hanya ada sedikit kemajuan dalam pergerakan inflasi menuju target sasaran 2%," tulis The Fed dalam pernyataan resminya.

Inflasi AS menanjak ke 3,5% (yoy)pada Maret 2024, dari 3,2% (yoy) pada Februari 2024. Inflasi AS juga diprediksi akan sulit turun drastis karena ekonomi mereka yang masih kencang dan ada pemilihan umum pada November mendatang.

'Komite tidak akan memangkas target (suku bunga) sampai kami lebih percaya diri melihat inflasi bergerak ke arah 2% secara berkelanjutan," tambah The Fed.

Di lain sisi, saham perbankan juga cenderung masih terbebani oleh sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI).

Sejatinya, ketika suku bunga naik, maka simpanan tabungan dan deposito juga akan meningkat karena imbal hasil yang lebih menarik. Hal ini menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat yang memilih investasi yang konservatif seperti instrumen deposito.

Meningkatnya simpanan tabungan dan deposito masyarakat dapat berdampak terhadap positif terhadap dana pihak ketiga (DPK) perbankan dan berdampak terhadap kenaikan terhadap Net Interest Margin (NIM) perbankan.

Namun, sektor perbankan juga dapat berdampak negatif terhadap kenaikan suku bunga. Ketika suku bunga naik maka bunga pinjaman akan terseret naik. Hal ini dapat berdampak pada daya pinjam masyarakat yang turun atau resiko turunnya pertumbuhan kredit perbankan ketika suku bunga naik.

Selain itu, ketika suku bunga naik biasanya harga barang-barang kebutuhan dan lainnya akan meningkat. Jika banyak debitur yang mengalami kesulitan bayar karena tingginya harga barang-barang kebutuhan, hal ini dapat berdampak pada kredit macet.

Jika jumlah kredit macet meningkat maka berarti Non Performing Loan (NPL) perbankan juga akan meningkat. Hal ini akan berdampak buruk terhadap cadangan modal bank dan mengganggu operasional perbankan.

CNBC Indonesia Research

Tuesday, April 30, 2024

Ini Alasan Lo Kheng Hong 20 Tahun Lebih Ogah Beli Saham IPO

 Lo Kheng Hong (CNBC Indonesia/Houtmand P. Saragih) Foto: Lo Kheng Hong (CNBC Indonesia/Houtmand P. Saragih)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor kawakan Lo Kheng Hong sempat mengaku sudah lebih dari 20 tahun terakhir tidak membeli saham dari pasar perdana atau pada saat perusahaan mencatatkan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Hal ini sudah disampaikan pria yang disebut-sebut sebagai Warren Buffett-nya Indonesia itu sejak 2021 lalu. Bahkan, ia pun tidak tertarik untuk membeli saham dari perusahaan teknologi semacam GoTo, Traveloka, Bukalapak, dan sebagainya.

"Yang pertama saya sudah tidak membeli saham-saham IPO dalam 20 tahun lebih, karena tidak mungkin pemilik perusahaan dan penjamin emisi (underwriter) mau menjual saham di harga undervalue (di bawah pasar), harga murah, pasti mereka mau menjual harga IPO semahal-mahalnya, jadi 20 tahun lebih saya menghindari membeli saham IPO," kata Lo Kheng Hong dalam video yang diunggah dalam akun Instagram @lukas_setiaatmaja, dikutip Kamis (20/5/2021).

"Karena menurut saya tidak ada yang salah harga, mana mau si pebisnis mau menjual Mercy nya di harga Avanza, kalau Avanza harga Mercy. Jadi saya sudah 20 tahun gak beli," kata pemilik saham PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) ini.

Pemilik saham Gajah Tunggal Tbk (GJTL) dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN) ini juga menambahkan dirinya gaptek atau kurang melek teknologi.


"Saya ga mengerti teknologi, untuk zoom meeting saja kalau ga dibantu anak saya mungkin tidak akan terjadi zoom ini. Sampai saat ini saya ngetik di komputer aja ga bisa, mungkin saudara kaget Lo Kheng Hong ngetik di komputer ga bisa karena waktu saya kuliah dulu belum ada komputer, sudah gitu saya gak mau belajar karena ga ada kebutuhan [saat itu],' katanya.

Di sisi lain, yang terpenting, dia memaparkan bahwa dirinya adalah seorang investor yang konservatif dan masih melihat kinerja fundamental perusahaan sebagai landasan berinvestasi.

Alasan belum tertarik IPO GoTo dan lainnya karena valuasi perusahaan teknologi dinilai sangat tinggi, tidak sejalan dengan kinerja perusahaan yang masih merugi. Valuasi itu tergambar dari price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER).

PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah.

Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali. Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.

"Mana mungkin saya beli perusahaan teknologi yang valuasinya bisa 10 kali nilai buku, perusahaan masih rugi, untungnya masih negatif. Seperti Bank Jago [saham ARTO], perusahaan digital, mungkin PBV (price to book value) 90 kali. Saya ga ngikutin, masih rugi, aset juga masih Rp 1 triliun lebih ya ga mungkin saya membeli," kata dia.

"Saya seorang investor yang konservatif, saya ga mau liat kinerjanya yang berlebihan di masa yang akan datang, jadi saya mau lihat labanya dulu, tunjukin ke saya. Kalau sudah labanya besar harganya murah baru saya beli," terangnya.

Menurut dia, perusahaan dengan valuasi yang besar itu malah justru membuat periode untuk mencapai periode break even point (BEP) semakin lama.

Contohnya saja saham Tesla yang saat ini memiliki price to earning (PER) 1.000 kali, artinya baru akan mencapai BEP dalam 10 abad ke depan.

"Saham teknologi itu buat fund manager karena mereka kelola uang orang lain, bukan uang orang sendiri, kalau rugi pun gak apa-apa, mereka tetap untung," imbuh dia.