Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Jumat (31/3/2023) hingga menembus ke bawah level psikologis Rp 15.000/US$. Indeks dolar AS yang turun 0,5% pada perdagangan Kamis membuat rupiah menguat 0,56% ke Rp 14.960/US$, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 1 Februari.
Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut belakangan ini tertekan akibat ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Pasca krisis perbankan yang melanda Amerika Serikat, The Fed diprediksi tidak akan lagi menaikkan suku bunganya, bahkan banyak yang memprediksi akan ada pemangkasan tahun ini.
Di sisi lain, bank sentral Eropa (ECB) masih akan menaikkan suku bunganya, sehingga selisih dengan The Fed menjadi menyempit. Hal ini membuat euro perkasa dan menekan dolar AS.
Euro berkontribusi besar terhadap pembentukan indeks dolar AS, sehingga ketika mata uang 19 negara ini menguat indeks dolar AS cenderung menurun.
Data ekonomi dari Amerika Serikat menunjukkan klaim tunjangan pengangguran dalam sepekan yang berakhir 25 Maret sebanyak 198.000 klaim, naik 7.000 dibandingkan pekan sebelumnya, dan sedikit di atas ekspektasi 195.000 klaim.
Klaim tunjangan pengangguran tersebut memberikan gambaran pasar tenaga kerja AS yang masih kuat meski bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Selain itu, data yang dirilis hari ini menunjukkan data produk domestik bruto (PDB) final AS kuartal IV-2022 tumbuh sebesar 2,6%, lebih rendah dari rilis sebelumnya 2,7%.
Di kuartal I-2023, pertumbuhan ekonomi AS diprediksi masih akan berakselerasi. Berdasarkan data GDPNow milik Fed Atlanta, PDB diprediksi tumbuh 3,2%.
Kuatnya perekonomian AS sebenarnya memberikan kebingungan di pasar. Dalam kondisi normal, hal tersebut bagus, tetapi saat "berperang" melawan inflasi tinggi akan menjadi buruk.
Inflasi tinggi akan susah turun saat PDB tumbuh tinggi. Namun, dengan The Fed diprediksi tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga, bahkan banyak yang melihat tidak akan dinaikkan lagi, harapan Amerika Serikat lolos dari resesi semakin besar, meski masih menyisakan pertanyaan apakah inflasi bisa turun atau masih tetap bandel.
Malam ini Amerika Serikat akan merilis data inflasi versi personal consumption expenditure (PCE) akan menjadi perhatian utama pelaku pasar dan bisa berdampak ke pasar finansial Indonesia pekan depan. Data ini merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya.
Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi inti PCE tumbuh 4,7% year-on-year (yoy) pada Februari, sama dengan bulan sebelumnya. Tetapi tentunya tidak menutup kemungkinan ada kejutan entah itu lebih rendah atau justru kembali menanjak.'
CNBC INDONESIA RESEARCH