Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,28% ke posisi 7.174,208.
IHSG sempat menyentuh zona psikologisnya di 7.200 atau tepatnya di posisi 7.210,16 pada awal perdagangan sesi I kemarin. Posisi ini juga menjadi level tertingginya kemarin. Namun, IHSG gagal bertahan di zona tersebut. PT BESTPROFIT
BEST PROFIT
Pada awal perdagangan sesi I kemarin, IHSG dibuka naik tipis 0,01% di posisi 7.195,36. Selang beberapa menit setelah dibuka, IHSG cenderung 'galau' dan pada akhirnya berbalik melemah hingga akhir perdagangan.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 31 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 222 saham naik, 290 saham turun, dan 186 saham lainnya stagnan.
Investor asing mulai melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 656,12 miliar di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 536,23 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 119,89 miliar di pasar tunai dan negosiasi. BESTPROFIT
Di Asia-Pasifik, secara mayoritas mengalami penguatan. Hanya indeks BSE Sensex India dan IHSG yang ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin
Dari indeks Asia-Pasifik yang mengalami penguatan, indeks Hang Seng Hong Kong memimpin dengan melejit 3,63%. Kemudian disusul indeks KLCI Malaysia yang melonjak 1,92%. PT BESTPROFIT FUTURES
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Kamis kemarin berhasil ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,17% dan sempat bertambah hingga 0,24% ke Rp 14.810/US$. Penguatan rupiah kemudian terpangkas hingga tersisa 0,07% saja, sebelum berakhir di Rp 14.820/US$, sama dengan level pembukaan perdagangan.
Secara mayoritas, mata uang Asia-Pasifik juga menguat. Hanya rupee India saja yang mampu tak mampu melawan sang greenback.
Dolar Australia menjadi yang paling besar penguatannya di hadapan sang greenback kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Kamis kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin, secara mayoritas mengalami kenaikan harga dan penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor ramai memburunya.
Hanya SBN tenor 1 hingga 5 tahun yang masih cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield dan melemahnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 1 tahun menanjak signifikan sebesar 21,6 basis poin (bp) ke posisi 4,635%. Sedangkan yield SBN bertenor 3 tahun juga menguat signifikan 10,4 bp ke 6,068%, dan yield SBN berjangka waktu 5 tahun naik 0,9 bp ke 6,613%.
Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara turun 0,5 bp ke posisi 7,061%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis kemarin.
IHSG yang terkoreksi sepertinya disebabkan karena investor mulai merealisasikan keuntungannya, setelah selama dua hari beruntun mengalami penguatan.
Seperti diketahui, pada Selasa lalu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 3,75%. Banyak yang memprediksi Gubernur Perry Warjiyo dan kolega tidak akan agresif.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro dalam catatannya, Selasa lalu, mengatakan bahwa BI masih berpeluang menaikkan suku bunga sebanyak 50 bp lagi.
"Secara keseluruhan, kami melihat BI masih memiliki ruang untuk menaikkan BI-7DRRR hingga 50 bp (maksimal 4,25%) di sisa tahun 2022," paparnya.
Hal senada diungkapkan oleh ekonom Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, yang memandang siklus pengetatan kebijakan moneter akan berlanjut dengan kenaikan suku bunga BI lanjutan.
Dia memperkirakan suku bunga BI bisa kembali naik 25 bp menjadi 4,0%, berdasarkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.
"Kami percaya dua kenaikan suku bunga kebijakan tahun ini akan cukup untuk mengelola inflasi sambil mempertahankan pemulihan ekonomi pada saat yang sama," ujarnya.
Sementara itu, kepala ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro melihat BI akan lebih agresif.
"Perubahan cepat ini, dalam pandangan kami, berarti BI mungkin mengetahui sesuatu yang tidak diketahui pasar, khususnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang mendorong inflasi, dengan pembuat kebijakan moneter-fiskal di sini terkenal dengan koordinasi mereka yang ketat," kata Satria.
Dia memandang sinyal penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ini mungkin sangat curam, sesuatu yang mungkin tidak sepenuhnya diperhitungkan oleh BI dan pasar.
Untuk menopang ekspektasi inflasi secara efektif, Satria menilai pengetatan moneter apapun harus dipercepat.
"Kami sekarang mengharapkan kenaikan suku bunga 75 bp lebih lanjut, yakni kenaikan 50-bp pada pertemuan moneter berikutnya setelah penyesuaian harga bahan bakar (kemungkinan bulan depan) diikuti oleh 25 bp lagi pada Oktober atau November, sehingga membuat BI rate akhir tahun menjadi 4,50%," katanya.